Jakarta, liputan86.Com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumpulkan "asset recovery" atau pemulihan kerugian keuangan negara dari penanganan tindak pidana korupsi sebesar Rp313,7 miliar selama semester I/2022.
"Bahwa 'asset recovery' yang sudah kami lakukan saat ini di semester I/2022 adalah Rp313,7 miliar. Ini sudah cukup bagus dari target yang ada," kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto saat jumpa pers "Kinerja KPK Bidang Penindakan Semester I/2022" di Gedung KPK, senin 22 2022.
KPK mencatat angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan "asset recovery" yang dicapai KPK pada semester 1/2021 sebesar Rp171,23 miliar.
Adapun rincian "asset recovery" hingga semester I/2022, antara lain, Rp248,01 miliar berupa pendapatan uang sitaan hasil korupsi, tindak pidana pencucian uang (TPPU), dan uang pengganti yang telah diputuskan/ditetapkan pengadilan, Rp41,5 miliar berupa pendapatan denda, penjualan hasil lelang korupsi, TPPU, dan Rp24,2 miliar dari penetapan status penggunaan dan hibah.
Karyoto menjelaskan kendala dalam melakukan "asset recovery", salah satunya terkait pelaksanaan lelang barang hasil rampasan dari terpidana korupsi.
"Lelang ini tidak setiap lelang dilaksanakan, sekali itu bisa berhasil, bisa berulang-ulang kali dan bahkan ada beberapa barang rampasan yang dilelang tidak laku," ucap Karyoto
KPK mengharapkan ada peraturan baru agar nantinya lelang dapat dilakukan pada saat proses penyidikan. Adapun lelang biasanya dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Nah, ini kami sudah mulai mencari cara adanya peraturan baru saat penyidikan bisa melakukan pelelangan, ini nanti diupayakan seperti itu," kata dia.
Selain itu, ia mengharapkan para penyidik untuk tidak lagi menyita kendaraan dalam penanganan perkara korupsi. Ia mengkhawatirkan nilai ekonomis dari barang tersebut berpotensi terus menurun sehingga nantinya memengaruhi proses lelang.
" Kami sudah mengharapkan kepada para penyidik kalau bisa jangan menyita mobil atau kendaraan yang sifatnya barang-barang bergerak yang nilai konsumtifnya dan nilai ekonomisnya dari tahun ke tahun semakin turun ini akan sangat merugikan," tuturnya.
"Misalnya, kami menyita mobil Mercedez tahun ini, kemudian barang itu dilelang telah "inkracht" pada tahun 2021 atau 2022 dengan harga yang mungkin sudah turun 50 persen, ini akan sangat merugikan. Karena pada saat disita nilainya adalah X rupiah pada saat dilelang X minus beberapa rupiah," kata Karyoto lagi.
Penulis : Yandri