INKONSTISIONAL PENUNDAAN PEMILU
Advocat Fadli S.E.,S.H
Advocat Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang
Demokrasi merupakan sistem pemerintahan dengan salah satu elemen kunci di dalamnya berupa sistem politik untuk memilih dan mengganti pemerintah melalui pemilihan umum yang bebas dan adil. Pemilu yang bebas dan adil kemudian diterjemahkan konstitusi Indonesia sebagai pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Singkatnya, pemilu luber dan jurdil secara berkala.
Pemerintah, dalam penyelenggara pemilu memutuskan pelaksanaan pemilu serentak pada 14 Februari 2024 dan pilkada pada 27 November 2024, beberapa elite partai politik memunculkan wacana penundaan pemilu. Dari sekian alasan yang diajukan, terdapat alasan yang menyita perhatian publik dan menimbulkan pro dan kontra. Hal itu diartikulasikan melalui Pasal 7 UUD Tahun 1945 bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pemilu dalam konstitusi
Penundaan pemilu tersebut tidak dapat digeneralisasi pada persoalan selain pada faktor pandemi. Beban biaya pemilu yang tinggi tidak serta merta dapat dijadikan dasar bagi penundaan pemilu. Bagi sebagian besar negara demokrasi di dunia, pelaksanaan pemilu secara berkesinambungan merupakan agenda utama setiap negara serta memasukkannya dalam konstitusi mereka. Di Indonesia, pemilu dinyatakan secara tegas dalam konstitusi sebagai bagian penting demokras
Ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 pada pokoknya telah dirumuskan secara jelas bahwa” pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali”.
Terdapat perubahan model yang menjadi perdebatan setiap penyusunan undang-undang pemilu, yaitu dari keserentakan pemilu dan pilihan proporsional tertutup atau proporsional terbuka. Semua kebijakan ini adalah merupakan open legal policy pembentuk undang-undang dan bersifat konstitusional. Namun, penundaan Pemilu 2024 tidak dapat dimasukkan dalam keranga untuk penguatan demokrasi. Hal ini cukup jelas karena penundaan pemilu adalah pembangkangan konstitusi yang melanggar ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Wacana punundaan pemilu harus diletakkan sebagai ius constituendum yang merupakan konsep hukum yang dicita-citakan dan belum diakomodasi dalam konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memberikan rumusan pemilu konstitusional melalui Putusan MK Nomor 37/PUU-XVII/2019, di mana pertimbangan hukumnya menyebutkan beberapa model pelaksanaan pemilu dan tetap dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Alternatif penyelesaian
Pada dasarnya, konstitusi membuka kemungkinan adanya perubahan dalam menampung konsep hukum yang dicita-citakan secara konstitusional. Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 pada pokoknya merumuskan bagaimana perubahan konstitusi itu dilakukan.
Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa konstitusi sebagai unsur penting dalam suatu negara harus dipatuhi, sedangkan tindakan yang tidak diatur oleh konstitusi adalah inskonstitusional. Dalam konteks ini, maka wacana penundaan pemilu adalah inskontitusional selama dalam konstitusi mengatur secara tegas bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Tanpa menutup mata terhadap fakta pandemi dan besarnya beban biaya pemilu, pada dasarnya terdapat beberapa upaya redesign pemilu yang konstitusional.
Jika dilihat dari helicopter view, sebagian besar unsur pemilu seperti sistem, aktor, tahapan, manajemen, pembiayaan, etika, dan penegakan hukum, secara umum mengindikasikan masalah teknis. Prinsip penting dalam melakukan redesign pemilu adalah merumuskan pemilu yang bebas. Hal ini penting karena merupakan salah satu syarat dasar bagi negara demokrasi perwakilan di bawah rule of law sebagaimana tertuang dalam International Commission of Jurist, Bangkok, tahun 1965.
Secara teknis, untuk mengatasi persoalan pandemi dan beban biaya pemilu yang tinggi dapat dilakukan melalui penyederhanaan pemilu. Pertama, pemberian suara dapat dilakukan dengan dukungan teknologi yang berdampak pada penghematan biaya logistik pemilu. Kedua, pemilu tidak dalam satu hari sehingga dapat mengurangi resiko terpapar Covid-19. Ketiga, memunculkan alternatif pemberian suara dengan metode lain, seperti melaui pos dan internet yang melindungi kesehatan masyarakat dan dapat menekan beban biaya tinggi sekaligus.